Pemilihan rektor bukan sekadar ritual empat tahunan untuk memilih pimpinan tertinggi di kampus. Ia adalah momentum pengujian apakah universitas masih menjadi benteng etika akademik dan penjaga marwah demokrasi yang sehat. Karena itu, kegaduhan dan keterlambatan dalam proses Pemilihan Rektor Universitas Khairun (UNKHAIR) baru-baru ini patut menjadi pelajaran penting—terutama bagi kampus seperti Universitas Mataram (Unram) yang sedang bersiap memasuki tahapan serupa.
Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi telah memberikan teguran keras kepada panitia dan senat UNKHAIR karena tidak menjalankan proses seleksi calon rektor secara tertib administratif dan tidak patuh terhadap ketentuan usia maksimal calon. Surat tersebut menyebut bahwa 5 dosen yang diajukan melebihi batas usia 60 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf c Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017 jo. Permen No. 21 Tahun 2018. Akibatnya, seluruh tahapan pemilihan terpaksa ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Yang menyedihkan, keterlambatan itu bukan disebabkan oleh konflik ide, tetapi oleh kelalaian dalam memenuhi standar administratif dan lemahnya kepemimpinan panitia. Di tengah sorotan publik, kampus yang seharusnya menjadi ruang teladan justru menjadi bahan gunjingan.
Unram jangan sampai mengulang kesalahan yang sama. Draf Peraturan Senat Universitas Mataram Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemilihan Rektor memang telah menyertakan pasal tentang batas usia, namun rumusan frasa “berusia paling tinggi 60 tahun, yang mengandung makna belum memasuki ulang tahun ke-61 pada saat berakhirnya masa jabatan rektor yang sedang menjabat” justru membuka ruang tafsir ganda yang rentan ditentang secara hukum.
Jika rumusan itu tetap dipertahankan tanpa konsultasi dan konfirmasi resmi kepada Kementerian, maka bukan tidak mungkin Unram akan bernasib sama seperti UNKHAIR: tahapan pemilihan dibekukan sementara, atau bahkan hasilnya dibatalkan.
“Jika aturan ditulis agar bisa ditafsir sesuai kepentingan, maka demokrasi akademik hanya akan jadi panggung kompromi, bukan arena meritokrasi.”
Lebih dari itu, dalam draf tersebut tidak ditemukan lampiran petunjuk teknis yang secara spesifik mengatur mekanisme verifikasi substantif, termasuk soal pembuktian bebas plagiat, pemenuhan LHKPN, dan status kesehatan calon. Padahal aspek-aspek inilah yang menjadi dasar teguran Inspektorat di kampus lain. Ketiadaan standar verifikasi ini membuat panitia rawan dianggap tidak profesional, dan bisa menurunkan legitimasi hasil akhir pemilihan.
Universitas Mataram memiliki tradisi akademik panjang dan telah melahirkan banyak ilmuwan serta pemimpin di kawasan timur Indonesia. Proses pemilihan rektor seharusnya menjadi ruang memperkuat kepercayaan publik, bukan malah menciptakan kekisruhan yang merusak reputasi institusi.
Pemilihan rektor harus dimulai dari regulasi yang jernih, panitia yang netral, dan verifikasi yang transparan. Jika dasar ini lemah, maka tidak ada jaminan hasilnya akan kokoh.
> “Yang dipertaruhkan dalam pemilihan rektor bukan hanya jabatan, tapi arah moral dan akademik sebuah generasi.”
Unram harus belajar dari pengalaman kampus lain. Jangan sampai momentum pemilihan rektor 2025–2029 menjadi ajang polemik, melainkan menjadi etalase bahwa kampus ini masih layak jadi panutan dalam demokrasi, bukan hanya dalam dimensi teori, tapi juga dalam tata kelola lembaga dan kehidupan kampus.