Meritokrasi dan Carut Marut Penataan ASN
Terjemahan

 

oleh. Jamie D, Aliansi Honorer NTB

Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (Q.S. An-Nisa: 58).

Dan Rosul Muhammad SAW bersabda, “Jika suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR. Bukhori).

Menanti kiprah Gubernur dan Wakil Gubernur baru Nusa Tenggara Barat dengan program meritokrasinya, kedua pedoman ini menguatkan komitmen agar visi misi pemimpin baru ini menjadi jalan keluar dari carut marut penataan Aparat Sipil Negara atau ASN khususnya penataan (alihstatus) 12 ribu tenaga kontrak dan honorer pemerintah dalam kurun waktu beberapa bulan sebelumnya yang menyisakan banyak persoalan.

Yang menonjol adalah istilah Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu bagi mereka yang tidak lulus rekrutmen PPPK seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023. UU ini adalah peraturan yang mengatur Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang juga mengatur tentang sistem meritokrasi birokrasi selain juga mengatur hanya dua jenis ASN yakni PNS dan PPPK serta mengatur tenggat waktu penyelesaian alihstatus honorer dan tenaga kontrak pemerintah karena tak diatur dalam UU alias ilegal.

Baca Juga :  BEM dan OKP NTB Siap Kolaborasi Bersama Tangani Pandemi

Bermula dari sistem seleksi dan leveling yang mewajibkan seluruh honorer dan tenaga kontrak untuk berkompetisi dalam ujian tes memperebutkan jumlah formasi (lowongan kerja) yang disediakan sangat tak masuk akal maka indikasi pengurangan dan pemberhentian sebagian besar honorer dan tenaga kontrak tak bisa dihindari. Badan Kepegawaian Negara (BKN) lebih memilih pola seleksi dan tes agar terkesan adil dan tidak melanggar hak asasi mereka yang sebagian besar justru memiliki masa kerja diatas sepuluh tahun. Seseorang yang dalam hal ini kumpulan besar orang orang yang dapat saja diidentifikasi sebagai profesional (dan dapat saja memiliki prestasi prestasi) di bidangnya tanpa pernah mendapatkan kesempatan dalam sistem meritokrasi yang berusaha diwujudkan pemerintah.

Sejak dikenalkannya Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja (PPPK), aparat sipil negara terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK tadi yang mengizinkan seseorang atau profesional tertentu dalam bidangnya mengisi dan berkarir sesuai kebutuhan birokrasi. Di sisi lain, jabatan fungsional di PNS adalah jabatan yang berfokus pada keahlian dan keterampilan tertentu dalam bidang tertentu. Jabatan ini tidak tercantum dalam struktur organisasi, tetapi sangat penting untuk mendukung tugas utama organisasi.

Baca Juga :  Pengerajin Kriya NTB Ikuti Workhsop Inkubasi Subsektor Kriya

Jadi jelas bahwa meritokrasi berusaha diwujudkan agar kejumudan alias business as usual dalam birokrasi terpacu dan mendapatkan energi baru dalam menyelesaikan persoalan pelayanan publik.

Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan, pemerintah seharusnya fokus saja pada verifikasi dan validasi prinsip meritokrasi yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, potensi, kinerja, integritas dan moralitas yang dilaksanakan secara adil dan wajar yang sudah pasti terukur karena telah bertahan mengabdi dalam kurun waktu yang panjang.

Adanya diskriminasi juga terasa dalam pendataan basis data yang hanya mensyaratkan SK bekerja dengan kriteria tertentu dan mengabaikan masa kerja panjang seseorang karena tak hadirnya sistem evaluasi berkala dan berjenjang secara otomatis bagi mereka yang selama ini dianggap karyawan kelas dua. Selalu saja dihadapkan pada sistem rekrutmen PNS atau PPPK yang selalu padat dan bersaing dengan titipan, produk rezim yang berkuasa atau lainnya.

Baca Juga :  Net-Zero Emission Tahun 2050, PLN Siap Bantu Pariwista NTB

Meritokrasi adalah seleksi alamiah yang seharusnya berjalan dalam ekosistem kerja yang sehat tanpa intervensi hal hal lain seperti politik dan kebijakan yang dalam istilah pasar disebut “tiba masa tiba akal”.

Di tengah hiruk pikuk pemutusan hubungan kerja, efisiensi dan semangat membangun rezim pemerintah Prabowo Gibran, jubir istana selalu mengulang ulang alasan spesialisasi dalam berbagai bidang menyoroti gemuknya birokrasi. Apalagi dengan peristiwa peristiwa korupsi oleh simbol negara dan pemerintah di tengah berbagai program pembangunan yang lebih banyak bervisi sepuluh dua puluh tahun kedepan, mereka yang saat ini bertahan hidup dengan perlakuan tak manusiawi pada pegawainya sendiri menciptakan kerusakan moral dan mental bekerja yang parah karena merasa kecewa. Bukankah selama ini bertahun tahun mereka juga terlibat dalam pencapaian pencapaian yang sukses seorang pemimpin atau kepemimpinan?

Bagi mereka bekerja soal ekspresi, rezeki soal Ilahi tanpa berharap diapresiasi melampaui ekspektasi. Cukuplah dihargai.

 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
terbaru
terlama terbanyak disukai
Inline Feedbacks
View all comments