Pendidikan adalah hak rakyat yang paling sering terabaikan. Padahal pendidikan merupakan satu-satunya alat kendaraan yang mampu memobilisasi secara vertikal untuk mendorong perubahan nasib kaum miskin. Jika pendidikan terenggut dari genggaman mereka, hampir pasti tidak ada lagi akses bagi mereka untuk menggapai kemajuan. Dengan adanya kemudahan akses pendidikan bagi masyarakat maka secara tidak langsung akan memberikan pedoman dan pegangan kepada masyarakat untuk menjalani kehidupan di masa yang penuh dengan kecanggihan teknologi, serta agar masyarakat bisa lebih berpikiran rasional, terbuka dan kritis terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Banyak orang mengatakan bahwa di abad 21 ini merupakan abad yang penuh dengan persaingan manusia, maka dari itu sudah semestinya akses pendidikan bagi masyarakat khususnya masyarakat desa, mutlak untuk mereka dapatkan. Dengan pendidikan yang mereka miliki yang serba minim dan ala kadarnya akan dapat menyebabkan masyarakat menjadi pemain pinggiran, serta dapat diibaratkan sebagai katak dalam tempurung yang hanya berkutat pada dunianya yang tak terbatas. Bahkan keberadaan mereka di dunia yang terbatas itu, mereka juga tidak berdaya.
Bangsa-bangsa yang kini berdiri pada garis depan kemajuan, adalah bangsa-bangsa yang sejak lama sadar dan berikhtiar keras untuk menyiapkan sumber daya manusia nya melalui pendidikan. Mereka sadar, Globalization is not a threat, but an oppurtunity, karena dapat menjadi momen dan ruang bagi setiap negara untuk maju dan menjadi makmur dengan satu syarat yakni menyiapkan manusia atau SDM yang cerdas, terampil dan inovatif. Tidak bisa kita pungkiri bahwa berinvestasi pada sektor pendidikan membutuhkan modal yang mahal dan butuh waktu lama untuk kita bisa melihat hasilnya di masa depan, tetapi walaupun demikian bangsa-bangsa yang memiliki pemikiran yang maju tidak akan pernah merasa terhalang untuk berinvestasi di sektor pendidikan. Seperti Pepatah China “Kalau menanam sayur hasilnya dalam setahun baru mungkin dipetik, kalau menanam buah hasilnya berbilang tahun baru panen, tetapi kalau menanam manusia hasilnya bisa 100 tahun baru terasa”. Maknanya disini adalah butuh waktu yang lama untuk memberikan dan menanamkan pengetahuan terhadap masyarakat, tetapi bukan tidak mungkin masyarakat akan mengalami stagnan dan hanya stuck di satu situasi. Walaupun perubahannya terjadi secara evolutif tetapi secara tidak langsung telah menggambarkan perubahan pola pikir atau perilaku yang terbentuk dengan adanya pendidikan di tengah masyarakat.
Dalam Pasal 31 UUD 1945 pada ayat 1 menyatakan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, pada ayat 2 menyatakan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayai (UUD 1945, Pasal 31). Lalu, pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia huruf A menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketakwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh penciptanya dianugerahi Hak Asasi untuk menjamin keberadaan hakikat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya.Hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia dan sarana yang mutlak di perlukan demi terpenuhinya hak-hak yang lain. Pendidikan adalah sarana utama dimana orang dewasa dan terutama anak-anak yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial dapat mengangkat diri mereka keluar dari kemiskinan.
Upaya pemerataan dan perluasan pendidikan merupakan suatu kebijakan publik yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan publik, maka harus dilaksanakan dengan perencanaan (Planning) yang matang. Proses pemerataan dan perluasan kesempatan belajar merupakan salah satu sasaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak yang sama di dalam mengakses pendidikan. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara si miskin dan si kaya, demikian juga tidak terdapat perbedaan antara masyarakat kota dan masyarakat desa. Oleh karena itu pendidikan haruslah digunakan untuk mendidik segenap rakyat, bukan hanya untuk beberapa golongan saja, sehingga ini merupakan tugas negara untuk mengatur proses pencerdasan bangsa. Konsep kesetaraan atau pemerataan menurut Coleman (1968) berarti beberapa hal, yaitu memberikan pendidikan gratis sampai tingkat tertentu yang merupakan titik masuk utama bagi angkatan kerja, menyediakan kurikulum umum untuk semua anak, terlepas dari latar belakangnya, menyediakan sekolah yang sama bagi anak-anak dengan latar belakang bidang yang berbeda-beda dan memberikan kesetaraan dalam kasih sayang, karena pajak daerah menyediakan sumber dukungan untuk sekolah. Konsep tersebut menjadi dasar program pemerataan atau kesetaraan dalam peningkatan kualitas pendidikan.. (Wibowo, 2018).
Namun pada kenyataannya, pemerintah belum memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas kepada setiap warganya. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2014.p.23), ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam mencapai target pembangunan pendidikan, yaitu salah satunya adalah akses pendidikan yang belum merata, masih rendahnya proporsi guru yang memiliki kualifikasi akademik S1/D4 dan belum meratanya distribusi guru yang berdampak pada rendahnya rasio guru dan murid. Dan belum optimalnya pelayanan pendidikan sebagai akibat akses terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan. Belum maksimalnya perluasan akses dan pemerataan pendidikan, dan masih rendahnya kualitas dan kuantitas guru. Terkait dengan masalah pemenuhan tenaga pendidik, pemerintah kita (melalui dinas pendidikan) sebenarnya secara khusus telah berusaha melakukan pemenuhan melalui penempatan guru-guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) baru yang ditempatkan di daerah tertinggal atau terpencil. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan hal yang mengejutkan, bahwasanya banyak guru yang enggan untuk mengajar di daerah pedalaman dengan berbagai macam alasan.
Menurut Berg (2006) dalam Riza Diah, AK dan Pramesti Pradna P. salah satu faktor yang menyebabkan keengganan para guru untuk mengajar di daerah terpencil atau tertinggal adalah letak sekolah yang sulit dijangkau. Alasan berikutnya adalah minimnya fasilitas dan hiburan. Di Indonesia, pada umumnya guru yang mengajar di daerah terpencil tidak betah dikarenakan fasilitas yang tidak memadai. Selain jauh dari pusat keramaian, fasilitas tempat tinggal guru juga tidak dipenuhi oleh pemerintah. Akibatnya banyak guru yang merasa tidak nyaman dan mengajukan pindah ke sekolah yang berada di perkotaan. infrastruktur di daerah pedalaman yang kurang lengkap seperti di kota-kota besar juga menjadi salah satu faktor mengapa pendidikan di daerah pedalaman masih sangat tertinggal seperti terbatasnya akses listrik dan tentu saja akan menyulitkan anak-anak untuk belajar. Selain kurang diperhatikannya nasib guru di daerah terpencil, sistem perekrutan guru di daerah terpencil juga kurang baik. Biasanya guru yang terdapat di daerah terpencil bukanlah seseorang yang ahli di bidangnya. Seringkali guru di daerah pedalaman adalah seseorang dengan ilmu dan kemampuan mengajar yang seadanya, sehingga proses pembelajaran tidak berjalan maksimum.
Oleh karena itu tentu saja dalam proses perekrutan dan penempatan guru di daerah terpencil kita membutuhkan guruprofesional yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang pekerjaannya yang diperoleh dari latihan atau pendidikan khusus keguruan (YamindanMaisah,2010:31). Selain memiliki kemampuandankeahliankhususdalambidangkeguruan,terdidikdanterlatih,Guruprofesionaljugamemilikipengalamanyangkayadibidangnya,sehinggamampumelaksanakantugasdanfungsinyasebagaigurudengankemampuanmaksimal(Kunandar,2010:46).Dengankatalainguruprofesionaldiperolehmelaluipendidikanpluspengalaman.Pendidikanakanmembekaligurudenganberbagaikompetensimeliputi:kompetensipedagogik,kompetensikepribadian,kompetensisosial,dankompetensiprofesional.Sementarapengalamanmemberikanpeluangdanruangbagiguruuntukmengimplementasiberbagaikompetensiyangdimiliki,sebagaimanadiamanatkanUndang-Undangdanberbagaiperaturanyangmengawalnya.Lebihlanjut,dalamUndang-UndangditegaskanbahwaguruprofesionalminimalmemilikipendidikanS-1atauD4.
Realitas ketertinggalan dalam dunia pendidikan kita memang sesuatu yang tidak terbantahkan. Kenyataan ini seharusnya mendorong pihak-pihak terkait untuk membuat sebuah rekonstruksi atau politik pendidikan yang mengarah pada pencapaian kualitas pendidikan yang hakiki. Oleh karena itu, dunia pendidikan harus terus direkonstruksi, tidak hanya pada masalah sistem kebijakan, tapi juga model pendidikan yang lebih progresif, kreatif, dan profesional. Dengan dalih tersebut pemerintah perlu mengadakan kegiatan sosialisasi melalui upaya literasi pendidikan bagi masyarakat yang belum mengetahui arti pentingnya pendidikan, pemerintah juga harus terus melaksanakan beragam kebijakan afirmasi seperti perbaikan dan penyediaan sarana fisik ruang belajar dan gedung sekolah, khususnya yang mengalami kerusakan berat ataupun yang berada di daerah terdepan, terluar dan tertinggal. Pemerintah melengkapi sarana dan prasarana pendidikan khususnya di daerah yang terpencil. Dengan itu, sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil memiliki sumber belajar yang memadai, melakukan lebih banyak kegiatan pendidikan di daerah terpencil sacara gratis. Melakukan pengadaan kegiatan pendidikan secara gratis tanpa di pungut biaya apapun, serta membuat program beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu.
Pendidikan yang merata dan berkualitas juga menghendaki supaya pembentukan karakter harus menjadi prioritas dengan melakukan reformasi pendidikan nasional baik dalam tataran konseptual maupun manajerial. Reformasi bertujuan demi terwujudnya pembangunan pendidikan yang dapat mengantar bangsa dan negara pada kejayaan di masa depan. Dalam tataran konseptual, karakter yang kuat akan menjadi fondasi yang kokoh bagi peserta didik masa kini. Karena pendidikan karakter adalah pendidikan yang diberikan untuk menyiapkan keterampilan siswa guna menghadapi kenyataan-kenyataan di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bagaimana membawa diri dalam pergaulan, bagaimana harus berbicara santun, bagaimana harus bertoleransi kepada orang lain dan lain sebagainya. Pendidikan karakter memiliki pengaruh besar terhadap peningkatan motivasi siswa untuk meraih prestasi dan untuk mengembangkan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai dan aturan yang ada. Pendidikan karakter itu mencakup ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap (attitude), dan tindakan (action). Harus mampu memberikan ’asupan’ bukan hanya bagi raga, tetapi sekaligus juga bagi jiwa berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah. Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter harus dilakukan dengan mengacu kepada grand design tersebut.
Menyadari bahwa Pendidikan sebagai sarana untuk menyiapkan generasi masa kini dan masa depan, maka pendidikan dituntut untuk mampu menangkap dan memproyeksikan kecenderungan-kecenderungan yang bakal terjadi pada masa depan. Ini artinya kurikulum juga harus disesuaikan dengan kebutuhan tersebut, tidak bisa dibiarkan berjalan di tempat apalagi mempertahankan hal-hal yang sudah kurang relevan, harus ada inovasi dan terobosan baru agar setiap generasi mampu menjawab tuntutan zaman. Karena hal yang paling mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan adalah kurikulum. Kurikulum sebagai “ruh” dari pendidikan yang terus berubah, idealnya bersifat pleksibel dan dinamis agar dapat mengikuti perkembangan dan tuntutan sekaligus tantangan zaman, seperti diungkap Mulyasa (2003: 18), bahwa proses pendidikan yang dilakukan saat ini bukan semata-mata untuk hari ini, melainkan untuk masa depan. Pendidikan harus mampu memainkan peran kesadaran kritis dalam melihat tantangan sekaligus peluang masa depan. Jika masyarakat atau suatu budaya berubah, maka tugas pendidikan untuk memainkan konstruktifnya dalam perubahan tersebut. Artinya, pendidikan perlu menyesuaikan tujuan dan programnya (dalam hal ini kurikulum) dengan kondisi perubahan tersebut, bahkan memberikan prediksi terhadap situasi budaya dan masyarakat masa depan. Melalui kebijakan inovasi bidang kurikulum yang melahirkan Kurikulum 2013 bertujuan untuk membekali peserta didik dengan berbagai kompetensi di masa depan, yakni pengembangan sikap (attitude), pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skill).
Kurikulum 2013 dalam implementasinya, proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru yakni terlebih dulu mengajarkan pengetahuan (fakta, konsep, generalisasi, prosedur atau teori yang relevan dengan pengetahuan yang diajarkan); berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, peserta didik dituntun untuk terampil mengimplementasikannya; dan dengan bekal pengetahuan dan keterampilan dikembangkan sikap yang relevan, baik sikap spiritual maupun sikap sosial. Untuk mengukur dan menilai ketercapaian kompetensi Kurikulum 2013 menggunakan assessment authentic, sehingga semua aspek kompetensi yang dievaluasi dapat diketahui ketercapaiannya. Dalam implementasinya guru tidak hanya menilai hasil (output) tetapi juga masukan (input) dan proses yang berimplikasi pada penyiapan instrumen penilaian yang variatif sesuai dengan indikator dan ranah yang akan dinilai, meliputi ranah sikap, pengetahuan dan keterampilan (Permendikbud, 2013). Dengan berbagai tuntutan kompetensi tersebut, maka Kurikulum 2013 idealnya di kawal oleh guru yang profesional. Bahkan keberhasilan dan kegagalan implementasi Kurikulum 2013 sangat tergantung pada profesionalitas guru, karena guru adalah “ujung tombak”pelaksana kurikulum.
Proses pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu proses pemberdayaan, yaitu suatu proses untuk mengungkapkan potensi yang ada pada manusia sebagai individu yang selanjutnya dapat memberikan sumbangan kepada pemberdayaan masyarakat dan bangsanya. Karena pendidikan adalah suatu peristiwa penyampaian informasi yang berlangsung dalam situasi komunikasi antar manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Secara umum tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Secara khusus pendidikan bertujuan untuk:
1. Meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian dan keterampilan;
2. Menciptakan pola pikir yang sama;
3. Menciptakan dan mengembangkan metode specification yang lebih baik;
4. Membina masyarakat daerah setempat.
Pada akhirnya pendidikan berfungsi menunjang pembangunan bangsa dalam arti yang luas yaitu menghasilkan tenaga-tenaga pembangunan yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Penyelesaian yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah pendidikan seharusnya dilakukan dengan cara yang terpisah-pisah. Pembenahan dalam fasilitas, staf pengajar, daerah terpencil, dan lain-lain harus ditempuh dengan langkah yang menyeluruh. Tidak hanya memperhatikan dari kenaikan anggaran saja, tapi semuanya harus diperhatikan. Sebab akan percuma saja jika anggaran yang diberikan tinggi tapi pencapaian pembenahan terhadap fasilitas tidak terlaksana, maka akan menimbulkan masalah. Sangat di sayangkan sumber daya manusia dan mutu pendidikan menjadi rendah. Penyelesaianyangditempuhuntukmenyelesaikanmasalahpendidikanseharusnyadilakukandengancarayangterpisah-pisah.Pembenahandalamfasilitas,stafpengajar,daerahterpencil,danlain-lainharusditempuhdenganlangkahyangmenyeluruh.Tidakhanyamemperhatikandarikenaikananggaransaja,tapisemuanyaharusdiperhatikan.Sebabakanpercumasajajikaanggaranyangdiberikantinggitapipencapaianpembenahanterhadapfasilitastidakterlaksana,makaakanmenimbulkanmasalah.Sangatdisayangkansumberdayamanusiadanmutupendidikanmenjadirendah.
Apalagi banyak pemberlakuan pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat penutupan sekolah di masa pandemi yang mengakibatkan semakin mempertajam tantangan akses belajar bagi siswa yang kondisi ekonominya kurang beruntung. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, 50 persen anak-anak di luar Jawa tidak terlayani PJJ daring. Alasan utamanya adalah ketiadaan sarana teknologi yang dimiliki siswa, mulai dari laptop, smartphone, kuota internet, hingga jaringan internet yang stabil. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan belajar yang lebar antarsiswa. Kondisi ini membuat pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan sesungguhnya tidak merata, sehingga tak semua anak mendapatkan ilmu secara optimal. Maka dari itu, melihat tantangan sistem PJJ, jelas dibutuhkan fasilitas pendukung belajar di rumah untuk memastikan setiap anak tetap dapat mengakses pembelajaran dengan layak.
Namun sejak sejak awal tahun 2021 banyak sekolah yang berada di zona hijau melakukan PTM tetapi tetap menerapkan protokol kesehatan. Permasalahannya disini adalah sarana dan prasarana pendidikan juga seharusnya turut menjadi perhatian. Karena seperti yang diketahui bersama, tak sedikit infrastruktur dan fasilitas sekolah di berbagai daerah yang masih kurang memadai. Maka dari itu, diperlukan perhatian yang lebih serius dari seluruh pihak untuk memastikan ketersediaan fasilitas penunjang pendidikan yang layak bagi seluruh anak Indonesia. Memastikan akses pendidikan di masa pandemi adalah kunci untuk menciptakan peluang tercapainya pendidikan berkualitas. Bagaimanapun, anak-anak dari segala kelas sosial-ekonomi harus dapat terus belajar dengan layak.
Oleh karena itu, tidak hanya pemerintah yang harus berperan dalam memajukan pendidikan di daerah terpencil, namun peran serta dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dalam suatu kehidupan juga menjadi peran penting dalam memajukan pendidikan dan selanjutnya pembangunan di suatu daerah, terutama daerah terpencil. Namun tentu saja dalam taraf pengimplementasiannya terdapat berbagai kendala yang menghadangnya. Kendala-kendala tersebut sebenarnya yang harus dicari jalan keluarnya demi terwujudnya proses pemerataan pendidikan di semua wilayah di Indonesia. Apalagi di zaman Pandemi seperti ini bukan hanya tugas pemerintah menyediakan akses pendidikan yang layak, tetapi juga membutuhkan kolaborasi multipihak, mulai dari para akademisi, korporasi, komunitas, masyarakat, dan juga para orang tua. Karena pandemi memperlebar jurang ketimpangan pendidikan yang besar dengan tantangan yang lebih berat, maka dibutuhkan kolaborasi yang lebih ekstra dan lebih solid dari berbagai pihak untuk mendukung anak-anak Indonesia menjadi generasi maju.
Nurianti Rohani Program Studi Sosiologi Universitas Mataram