Dalam sebuah dialog di ruang kerja kantor pemerintah, seorang bawahan menanyakan perihal siapa yang disebut Aparat Sipil Negara (ASN) kepada atasannya.
“Jadi kami termasuk aparat negara dong karena bekerja untuk pemerintah”, kata bawahan.
” Ya, kata atasannya. “Karena setiap pekerja yang digaji atau dibiayai oleh pemerintah menjadi aparatnya pemerintah”, tambahnya.
Namun begitu, pekerja kontrak atau tenaga honorer yang bekerja di pemerintahan yang kini sedang menanti kepastian karena program penataan Aparat Sipil Negara (ASN) sesuai Undang Undang 20 Tahun 2023 hanya menyebutkan dua jenis pekerja yang diakui secara legal yakni Pegawai Negeri Sipil dan Pekerja Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Terlebih dengan terminologi pegawai tidak tetap, secara hukum perdata belum mengatur secara jelas perihal sebutan itu.
Meski begitu, UU Cipta Kerja yang mengatur hak karyawan kontrak meliputi: Upah minimum, Cuti tahunan, Tunjangan Hari Raya (THR), Tunjangan tetap dan tidak tetap dan Uang kompensasi.
Di pemerintah provinsi, surat keputusan mempekerjakan tenaga kontrak awalnya disahkan oleh kepala daerah dan kemudian dikeluarkan oleh kepala organisasi perangkat daerah masing masing disertai surat perjanjian kerja yang mengatur tugas dan fungsi masing masing.
Dalam prakteknya sebelum diubahnya kebijakan terkait pekerja kontrak ini, meskipun melakukan tugas dan fungsi layaknya PNS namun tak memperoleh jaminan hukum seperti misalnya dibekali dengan surat tugas dan biaya operasional tersendiri. Bahkan secara umum, anggaran gaji bagi mereka dimasukkan dalam mata anggaran belanja barang dan jasa sebelum perubahan kebijakan yang menghargai profesi karena dedikasi mereka dalam menyelesaikan tugas pelayanan publik layaknya PNS golongan rendah.
Yang terpenting pula adalah kiprah pengabdian mereka sebagai “aparat sipil negara” dalam batas kewenangan tertentu sesuai surat perjanjian kerja antara kepala dinas dan institusi semata mata memenuhi kebutuhan organisasi sejak moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) diberlakukan secara nasional dan baru dicabut setelah UU 20/ 2023 diterbitkan.
Adapun maraknya peluang pekerja titipan dan bergantinya rezim dengan proses pemilihan kepala daerah serta indikasi pemalsuan dokumen dan lain lain adalah bagian dari anomali sistem yang disebabkan oleh praktek individu dalam sistem birokrasi yang seharusnya terus menerus dievaluasi dan ditegakkan.
Untuk itu, membentuk serikat pekerja merupakan kebutuhan yang dilindungi pula oleh hukum yang berlaku bahwa setiap pekerja/buruh, termasuk ASN, berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.
Dasar hukumnya
Pasal 104 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja
UU Nomor 21 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.
Syarat pembentukan serikat pekerja Memiliki minimal 10 orang anggota, Membuat AD/ART, Memiliki susunan pengurus,
Melakukan pencatatan ke Dinas Ketenagakerjaan, Memberitahukan secara tertulis kepada perusahaan atau mitranya apabila sudah terbentuk serikat pekerja dan larangan menghalangi pembentukan serikat pekerja Perusahaan atau siapapun dilarang menghalang-halangi pekerja untuk membentuk, menjadi anggota, menjadi pengurus, dan/atau menjalankan kegiatan serikat pekerja.
Ancaman pemutusan hubungan kerja bagi pihak yang menghalang-halangi tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.
Seperti juga organisasi profesi yang lain, asosiasi kepala daerah, DPRD dan lain lain dibentuk sebagai jawaban untuk hadirnya keseimbangan antara hak dan kewajiban karena dalam sudut pandang pekerja tidak tetap, bahkan ketua lembaga, komisioner dan bentukan mitra kerja pemerintah lainnya yang memiliki masa kerja terbatas seharusnya masuk dalam kriteria ini meskipun ada aturan hukum lain yang mendukung eksistensi mereka sebagai profesional dalam melakukan pekerjaan untuk pemerintah/ negara.
Sejak hiruk pikuk penataan ASN oleh Menpan RB dan BKN, beberapa aliansi atau sekelompok pekerja yang menuntut persamaan hak sebagai aparat sipil negara telah melahirkan banyak organisasi profesi namun masih dalam bentuk wadah mengumpulkan massa tanpa tujuan yang memiliki sistem dan struktur dalam jangka panjang.
Padahal seperti disebutkan diatas, kebutuhan advokasi dalam memelihara semangat kerja dan korsa terkadang terbentur kasta kasta pekerja bahkan dalam unit terkecil seperti bidang dan dinas.
Oleh karena itu, bagi siapa saja terutama mereka yang telah mengabdi dengan profesi mereka selama puluhan tahun mendukung raihan prestasi prestasi daerah seharusnya mulai memikirkan dan melakukan tindakan nyata dengan membentuk organisasi profesi agar kesejahteraan bersama dapat terwujud.
oleh. Jamie D, Aliansi Honorer NTB