Kesehatan Mental dan Stigma Sosial Bagi Orang Tua Anak Disabilitas Di Lombok
Terjemahan

Anak disabilitas adalah individu yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya secara optimal pada fisik. Oleh karena itu peran orang tua sangat penting untuk merawat karena kondisi fisik pada anak mempunyai keterbatasan dalam setiap aktivitasnya. Berdasarkan wawancara dengan orang tuanya yaitu faktor utama yang menyebabkan stres pada orang tua adalah tantangan dan tuntutan sehari-hari yang berkaitan dengan menjaga anak disabilitas. Orang tua umumnya menerima sepenuhnya kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus, tetapi sebagian besar tekanan kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh terkucilkan di masyarakat tentang disabilitas dapat menyebabkan mereka cemas hingga depresi pada orang tua.

Sebuah studi terbaru yang dilakukan di Lombok Timur mengungkapkan orang tua yang memiliki anak disabilitas merasakan perasaan sedih, marah, shock, cemas, merasa paling bertanggung jawab. Berdasarkan riset Putri, 2024 bahwa perasaan tersebut karena merasa memiliki anak yang berbeda dari anak lainnya & mereka juga turut prihatin kepada anaknya karena sering dibully oleh teman sekolahnya hingga harus pindah sekolah padahal sekolah tersebut adalah sekolah impian sang anak. Studi terbaru lainnya dilakukan di Kota Mataram mengungkapkan bahwa kondisi sosial yang buruk dapat mempengaruhi kesehatan mental sosial seseorang, salah satunya kondisi lingkungan sosial. Rendahnya dukungan dari orang lain serta adanya penilaian negatif yang dapat menyebabkan orang tua dari anak disabilitas merasakan keterpurukan.

Baca Juga :  Universitas Mataram Resmikan Gedung Isolasi Covid-19

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa orang tua yang memiliki anak disabilitas mempunyai beban kerja lebih. Tidak jarang para orang tua direpotkan terutama pada orang tua yang bekerja di perkantoran, karena biasanya anak disabilitas tidak bisa melakukan kegiatan keseharian dengan sendirinya sehingga membutuhkan bantuan orang lain dalam segala aktivitas-aktivitasnya.

Fenomena ini dapat di analisis menggunakan teori Konstruksi sosial yang di kemukakan oleh Berger. Dalam teori ini menjelaskan tentang keterkaitan individu dengan masyarakat. Masyarakat dianggap sebagai suatu agen dalam membatasi aktivitas individu. Selain itu, teori ini juga tidak terlepas dari realitas dan pengetahuan. Teori konstruksi sosial Peter L. Berger membagi ke dalam 3 konsep tahapan yang meliputi eksternalisasi, objektivasi, dan juga internalisasi. Konsep tahapan eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosial budaya, lalu tahapan kedua yaitu objektivasi adalah sebuah hasil dari adaptasi yang telah disepakati bersama, dan internalisasi adalah suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh individu terhadap lingkungan dan aspek luarnya. Dalam kasus ini dapat dikaitkan bagaimana kekhawatiran orang tua dan anak disabilitas melihat kenyataan tentang dirinya ditambah lagi adanya stigma atau sikap dan pandangan negatif seseorang terhadap ciri mental, fisik, dan sosial seseorang atau sekelompok orang.

Baca Juga :  Universitas Mataram sebagai Tuan Rumah Save Biodiversity

Hasil studi ini dapat menjadi dasar bagi masyarakat secara luas untuk tidak memberikan pernyataan dan sikap negative pada orang tua anak disabilitas karena hal tersebut dapat berdampak pada orang tua maupun anak disabilitas tersebut, selain itu peneliti juga merekomendasikan agar anak disabilitas mendapatkan haknya dalam berbagai bidang misalnya pengembangan kemampuan, jadi anak-anak disabilitas bisa menuangkan kemampuannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

Penulis
Oleh
I Nyoman Agus Ari Wijaya
Program Studi Sosiologi FHISIP, Universitas Mataram.

 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
terbaru
terlama terbanyak disukai
Inline Feedbacks
View all comments