Pro Kontra Fatwa Salam Lintas Agama (Bagian pertama)
Terjemahan

Oleh: Prof. Dr. Khairul Hamim, MA
Dosen UIN Mataram

Lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan salam lintas agama telah menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Salam yang dimaksud adalah ucapan salam yang berasal dari semua agama, seperti salam sejahtera bagi kita semua (Kristen), Shalom (Katolik), Om Swastiyastu (Hindu), Namo Buddhaya (Buddha) dan Salam Kebajikan (Konghucu), setelah ucapan assalamuaalaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penetapan fatwa haram salam lintas agama tersebut merupakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII tanggal 28-31 Mei 2023 yang diselenggarakan di Bangka Belitung beberapa minggu yang lalu. Beragam pendapat dan komentar bermunculan di berbagai media yang ada di jagat maya baik di Facebook, WhatsApp, Instagram, Youtube dan di berbagai media lainnya. Terhadap Fatwa tersebut, ada yang setuju dan banyak juga yang tidak setuju, termasuk di dalamnya para akademisi, pemerhati sosial, Kiyai, Tuan Guru, bahkan di kalangan internal MUI sendiri ada yang tidak sependapat dengan Fatwa MUI tersebut. Perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak bisa terelakkan karena masing-masing pendapat memiliki argumentasi dan sudut pandang sendiri. Lantas bagaimana seharusnya kita menyikapi kedua pendapat yang terlihat bersebrangan tersebut?

Hakikat Fatwa
Dalam berbagai referensi dijelaskan bahwa fatwa adalah peraturan agama yang dikeluarkan oleh ulama Islam tentang hal-hal khusus yang berkaitan dengan hukum, etika, dan praktik. Fatwa bersifat kasuistik karena fatwa merupakan respon atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan mustafti (pencari fatwa). Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti bahwa si peminta fatwa tidak harus mengikuti substansi yang diberikan kepadanya, tetapi fatwa biasanya cenderung bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap persoalan yang sedang dihadapi oleh mustafti.

Baca Juga :  Kesehatan Mental dalam Pandangan Islam

Karena karakteristik fatwa yang tidak mengikat maka fatwa boleh diikuti dan boleh pula tidak diikuti karena fatwa itu sendiri sifatnya himbauan. Meski demikian Fatwa (baca:MUI) sangat penting eksistensinya dalam komunitas umat Islam terutama dalam ranah amar ma’ruf dan nahi munkar.

Umumnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan fatwa: Pertama, perbedaan antara fatwa dan agama. Fatwa adalah kreasi dan produk penalaran manusia, sementara agama adalah wahyu Tuhan yang berdimensi ketuhanan. Kedua, terkait dengan monopoli ulama terhadap klaim kebenaran. Bahwa fatwa adalah ‘panen intelektual” ulama dari lahan agama yang begitu luas. Adalah benar bahwa fatwa dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat, namun harus diakui bahwa tradisi fatwa telah memisahkan masyarakat dari agama dan cenderung menjadikan fatwa sebagai agama alternatif. Ketiga, tradisi fatwa mengajarkan masyarakat untuk mengambil kesimpulannya sendiri. Ketika fatwa melarang A, masyarakat langsung menyimpulkan harus berbuat B. Kasus salam lintas agama menjadi salah satu contohnya. Fatwa MUI menyatakan bahwa salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi dan moderasi beragama. Maka pemahaman yang dipahami oleh masyarakat adalah tidak boleh mengucap dan menyampaikan salam lintas agama. Padahal salam lintas agama ini sangat menopang terwujudnya hidup damai, toleran antar umat beragama terlebih lagi dalam kehidupan sosial Bangsa Indonesia yang majemuk dan heterogen.
Walhasil, Fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat. fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak mesti ditaati oleh seluruh warga negara. Legalitas fatwa MUI tidak bisa dan tidak boleh memaksa untuk harus ditaati oleh seluruh umat Islam.

Baca Juga :  Jika Kota Mataram Dianggap Kota Intoleran

Popularitas dan Orientasi Salam Lintas Agama
Salam lintas agama (selanjutnya ditulis SLA) sejatinya sudah dikenal sejak dulu kala bahkan sudah dipraktekkan di masa Rasulullah SAW saat beliau mengirim surat ke Najasy raja Habasyah yang non-muslim dengan ucapan assalamu ‘ala manittaba’al huda (keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk). Di Indonesia SLA juga sudah dipraktekkan sejak awal kemerdekaan Bangsa Indonesia yang tidak lama setelah itu didirikannya Departemen Agama (Depag) sebagai wujud nyata dalam mengimplementasikan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengakomodir hajat semua agama dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan dan agama mereka masing-masing. Dan inilah bentuk akomodasi dan implementasi toleransi kehidupan beragama yang plural dan heterogen Indonesia.
Seiring perubahan situasi dan kondisi termasuk pergantian era politik dari era Orde Baru ke era Reformasi, Ucapan SLA inipun kian marak disampaikan terutama pada saat berlangsungnya acara formal maupun non-formal yang melibatkan keikutsertaan umat non-muslim. Namun masih dalam bentuk ucapan yang sederhana (selamat pagi, siang, sore, malam, salam sejahtera) belum salam lengkap semua agama seperti yang ada saat ini.

Baca Juga :  Dampak Pengelolaan LNG Nasional yang Ore Gade

Menurut hemat penulis, SLA yang mengakomodir semua agama, baru populer kurang lebih empat tahun terakhir ini yakni saat dilantiknya Bapak KH. Yaqut Cholil Qoumas (Selasa, 22 Desember 2020) sebagai Menteri Agama RI pada kabinet Presiden Jokowi. Beliaulah yang menginisiasi sekaligus mempopulerkan SLA dengan maksud dan tujuan untuk lebih menjaga, mempererat dan memperkuat jalinan persaudaraan antar umat beragama di Indonesia (ukhuwah wathoniyah). SLA yang ditradisikan oleh Gus Men (sapaan akrab Menteri Agama) disampaikan hanya pada saat menghadiri kegiatan atau pertemuan lintas agama semata, SLA tidak diucapkan pada acara khusus komunitas umat Islam itu sendiri.
Oleh Gus Men, SLA dimaksudkan sebagai salam penghormatan kepada seluruh pemeluk agama, sekaligus sebagai simbol kerukunan dan toleransi umat beragama karena bisa dipastikan tidak ada pretensi sedikitpun dari Gus Men untuk mengotori apalagi merusak akidah umat Islam Indonesia.

Praktek SLA semacam ini merupakan bentuk mujamalah (sikap santun) yakni bentuk implementasi toleransi beragama sekaligus implementasi penguatan moderasi beragama yang menjadi salah satu dari tujuh program priotitas Kementerian Agama RI di samping program prioritas lainnya yaitu Transformasi Digital, Revitalisasi KUA, Kemandirian Pesantren, Cyber Islamic University, Religiosity Index, dan Tahun Kerukunan Umat Beragama.
Dengan SLA diharapkan tercipta suasana saling menghargai, menghormati, dan mengakui eksistensi pemeluk agama lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Bersambung)

 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
terbaru
terlama terbanyak disukai
Inline Feedbacks
View all comments