AmpenanNews. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Provinsi NTB, imbau jurnalis agar patuhi pedoman penulisan berita kasus bunuh diri karena sebanyak 585 kasus bunuh diri terjadi di Indonesia, dalam enam bulan terakhir (Januari-Juni 2023) berdasarkan data Polri.
Fatalnya, hampir semua kasus bunuh diri terjadi akibat depresi atau gangguan serius pada mental.
Untuk itulah, fungsi pendidikan pada pers tentunya tidak terlepas dari bagaimana mengedukasi masyarakat untuk tidak melakukan upaya untuk mengakhiri hidup mereka. Itu menjadi tema dalam diskusi yang diselenggarakan AMSI NTB, Jumat 29 September 2023.
AMSI NTB berupaya mengingatkan jurnalis untuk lebih berhati-hati dalam menulis berita yang berkaitan dengan peristiwa bunuh diri. Jangan sampai, berita yang ditulis justru menginspirasi seseorang melakukan perbuatan serupa.
Sebagai Ketua Bidang Hukum dan Advokasi AMSI NTB, Satria Zulfikar mengatakan masih banyak wartawan khususnya di NTB yang beranggapan bahwa bunuh diri identik dengan kriminalitas, sehingga dengan mudah menulis identitas korban serta alamat dan lokasi kejadian.
“ Perspektif bunuh diri identik dengan kriminalitas perlu diubah oleh pers. Bunuh diri itu menyangkut kesehatan jiwa, bukan kriminalitas,” katanya dalam diskusi mingguan AMSI bertema ‘Peran Pers dalam Mencegah Bunuh Diri’ di Mataram.
Ia berharap wartawan tidak lagi menonjolkan peristiwa bunuh diri dengan perspektif kriminalitas yang menjelaskan identitas korban dan bahkan cara korban untuk mengakhiri hidupnya.
“ Pers harus mempertimbangkan rasa traumatik pada keluarga korban atas berita yang disajikan. Jangan juga menyebut cara korban mengakhiri hidup, sehingga justru dapat menginspirasi orang-orang yang mengalami depresi yang akan berdampak pada pengulangan kasus,” ujarnya.
Ketua Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan AMSI NTB, Ibrahim Bram Abdollah meminta pers untuk berhati-hati menampilkan foto aksi bunuh diri yang juga berpotensi menjadi inspirasi bagi korban lain yang mengalami depresi untuk melakukan pengulangan kasus.
“ Hindari menulis cara yang dilakukan korban untuk bunuh seperti gantung diri, minum racun, loncat dari tebing. Itu justru akan menginspirasi korban lainnya yang mengalami depresi untuk melakukan tindakan serupa,” ujarnya.
Walaupun demikian dengan mewawancarai keluarga korban, jangan sampai justru bertanya yang menimbulkan rasa trauma keluarga korban.
Ia juga meminta pers di NTB untuk meniru beberapa media nasional di Indonesia yang sudah mulai berhati-hati dalam menulis berita bunuh diri. Misalnya detikcom pada setiap berita bunuh diri, pada bagian awal berita berisi peringatan bahwa informasi tersebut bukan bertujuan menginspirasi dan juga meminta masyarakat yang mengalami depresi segera menghubungi petugas kesehatan.
Contoh, setiap paragraf pertama berita bunuh diri dapat menulis redaksi seperti: “Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi kepada siapapun untuk melakukan tindakan serupa. Bagi Anda pembaca yang merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke pihak-pihak yang dapat membantu seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.”
Perlu diingat, Dewan Pers juga telah mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor:2/PERATURAN-DP/III/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri. Peraturan tersebut telah diterbitkan pada 22 Maret 2019.
“ Ada sebanyak 20 poin rincian pedoman bagi wartawan dalam menulis berita terkait bunuh diri atau percobaan bunuh diri,” kata Bram.
Sebagai berikut adalah pedoman menulis berita bunuh diri yang dikeluarkan Dewan Pers:
Pertama, Wartawan mempertimbangkan secara seksama manfaat sebuah pemberitaan bunuh diri. Kalau pun berita dibuat harus diarahkan kepada concern (kekhawatiran) atas permasalahan yang dihadapi korban, bukan justru mengeksploitasi kasus menjadi sebuah berita yang sensasional.
Kedua, Pemberitaan bunuh diri sebaiknya diletakan atau diposisikan sebagai isu kesehatan jiwa, bukan isu kriminalitas, karena faktor bunuh diri disebabkan bukan hanya karena faktor tunggal semata.
Ketiga, Harus menyadari bahwa berita bunuh diri dapat menimbulkan traumatik kepada keluarga dan kerabat korban.
Keempat, Wartawan menghindari membuat stigma (pandangan negatif) kepada orang yang bunuh diri atau mencoba bunuh diri.
Kelima Wartawan menghindari menyebut identitas pelaku dan juga lokasi bunuh diri secara jelas untuk menghindar aib dan rasa malu pihak keluarga korban. Identitas yang dimaksud adalah semua data diri korban yang memudahkan orang lain untuk melacak.
Keenam, Wartawan menghindari penyebutan lokasi bunuh diri korban seperti jembatan, tebing, gedung tinggi, untuk menghindari pengulangan kasus.
Ketujuh, Saat wawancara keluarga atau kerabat korban untuk menghindari traumatis keluarga atau kerabat korban.
Kedelapan, Dalam menayangkan gambar atau foto wartawan harus menghindari aksi tiruan yang membuat orang lain meniru aksi bunuh diri korban. Terlebih lagi korbannya adalah publik figur, artis, tokoh.
Kesembilan, Menghindari ekspos gambar, foto, video, suara, video korban bunuh diri dan aksi bunuh diri yang dapat menimbulkan traumatis orang yang melihat.
Kesepuluh, Menghindari siaran langsung terhadap orang yang akan atau sedang bunuh diri.
11, Menghindari penyiaran secara detail modus aksi bunuh diri, mulai dari cara, perawatan, jenis obat atau bahan kimia yang digunakan, maupun teknis, termasuk info detail yang berasal dari dokter, kepolisian termasuk membuat sketsa dan bagan terkait hal tersebut.
12, Menghindari pengambilan bahan berita dari media sosial korban, baik foto, tulisan, suara dan video dari korban bunuh diri untuk membuat berita bunuh diri.
13, Hindari berita ulangan terkait riwayat seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
14. Wartawan menghindari membuat berita yang menggambarkan aksi bunuh diri akibat masalah pada korban sebagai sesuatu yang “alami” dan “dapat diipahami”, seperti karena kondisi ekonomi atau kesehatan, tujuan yang tidak tercapai, hubungan asmara yang kandas dan lainnya. Jangan menggambarkan aksi bunuh diri sebagai kondisi yang heroik.
15. Hindari eksploitasi pemberitaan kasus bunuh diri, seperti mengulang-ulang menulis berita kasus bunuh diri yang terjadi atau yang pernah terjadi.
16. Hati-hati menggunakan diksi dan istilah, menghindari penggambaran yang hiperbolik. Data statistik, harus diperlukan kehati-hatian dengan sumber yang jelas.
17. Menghindari memuat atau menayangkan berita bunuh diri di halaman depan, kecuali penulisan mendalam mengenai situasi kesehatan masyarakat dan bunuh diri hanya ditulis sebagai salah satu misal/contoh.
18. Wartawan diperbolehkan menulis atau menyiarkan berita bunuh diri lebih detail dengan fokus pengungkapan kejahatan di balik kematian yang semula diduga kasus bunuh diri, karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.
19. Jika memberitakan kasus bunuh diri, harus diikuti dengan panduan untuk mencegah pembaca, pendengar, pemirsa melakukan hal serupa, seperti referensi kepada kelompok, alamat, nomor kontak lembaga di mana orang-orang yang depresi atau berniat bunuh diri memperoleh bantuan (secara psikologis). Wartawan harus meminta para pakar profesional yang memiliki empati mencegah bunuh diri.
20. Pemberitaan bunuh diri tidak boleh dikaitkan dengan hal-hal tahayul, gaib dan mistis.