AmpenanNews. Ada tangan tak terlihat di tambang sengkarut, dimana pasir putih di sepanjang pantai Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) membuat wilayah tersebut begitu sangat cantik. Belum lagi di sana menjadi lokasi pertambangan yang menjadi salah satu sumber kekayaan negeri membuat lengkap kekayaan yang dimiliki Maluk.
Untuk keberadaan PT AMMAN Mineral Nusa Tenggara (AMNT) di Batu Hijau menjadikan lokasi tersebut begitu sangat strategis. Wajar saja negara memberi label Objek Vital Nasional di sana.
Karena sumber kekayaan yang besar membuat banyak orang bergantung hidup di sana, terutama masyarakat lingkar tambang yang banyak menjadi pekerja di sana, atau usaha-usaha lain yang memanfaatkan keberadaan tambang di sana, seperti deretan warung nasi, jasa indekos hingga barbershop. Jika datang ke sana pukul 17.00 WITA hingga 19.00 WITA aktivitas di Maluk menjadi padat dengan pekerja yang makan di sepanjang warung atau aktivitas lain di sana.
Akan tetapi dibalik ketenangan itu, terdapat banyak kegaduhan yang terjadi. Aksi demo tambang sering disuaran bahkan hingga ke Jakarta. Tidak hanya itu, mahasiswa lain di luar NTB ikut berunjukrasa meminta penutupan aktivitas tambang di sana sebagai bentuk solidaritas terhadap warga lingkar tambang.
Pada saat unjukrasa dilakukan di Jakarta mendesak sejumlah tuntutan terhadap keberadaan tambang, justru waktu bersamaan masyarakat lingkar tambang di Maluk berunjukrasa mendukung keberadaan tambang.
Para massa berunjukrasa di Gate Benete (pintu masuk menuju tambang) hingga Kantor Camat Maluk. Massa khawatir dengan tuntutan penutupan tambang berimbas pada risiko keluarga mereka yang bekerja di tambang menjadi pengangguran atau bahkan mematikan usaha masyarakat lingkar tambang.
Salah satu Tokoh Masyarakat Maluk, Safruddin yang ditemui kemarin mengatakan sengaja melakukan aksi mendukung pertambangan untuk keberlanjutan ekonomi di sana. Apalagi banyak warga di lingkar tambang yang menjadi pekerja di tambang.
“kami demo juga di sini mendukung perusahaan. Kita dukung kegiatan AMMAN. Saya dukung, silahkah jalan, ketimbang orang makan apa, petani juga enggak ada di sini,” katanya di Pasir Putih Maluk.
Safruddin mengatakan keberadaan tambang masih sangat dibutuhkan meskipun tidak berpengaruh besar terhadap peningkatan ekonomi dirinya. “Alasannya ada kegiatan saja seperti ini, bagaimana dengan enggak ada kegiatan (pertambangan). Kami mau makan apa? Yang penting jangan datang bikin resah kami di sini!” ujarnya.
Ia mengatakan warga di lingkar tambang sangat terbuka dengan investor yang datang untuk berinvestasi. Baginya, siapapun yang datang selagi tidak membawa keresahan dapat diterima.
“kami dukung semua investasi yang ada selama untuk hal positif. Siapa saja yang datang selama ada niat membangun desa kami silahkan. Kami berharap anak cucu kami bisa punya pekerjaan di sini, itu saja. Siapa saja investor kami tetap berharap,” katanya.
Dari semua serangan terhadap tambang memang selalu masif dilakukan sejak awal tahun ini. Mulai dari mahasiswa, LSM hingga DPR ikut menyuarakan apa yang disebut sebagai permasalahan di perusahaan tambang. Namun apakah gerakan-gerakan tersebut ditunggangi?
*Penikmat Gaduh*
Bagi warga lingkar tambang sangat santer familiar dengan sebuah nama seorang mantan petinggi di PT AMMAN yang diduga membiayai setiap gerakan untuk melawan perusahaan. Rumor pembiayaan terhadap setiap gerakan yang melawan perusahaan sudah sering terdengar di Maluk, bahkan KSB.
Seorang tokoh pemuda di Maluk, Boy Burhanuddin Teta berbicara banyak soal itu. Ketua MPC Pemuda Pancasila Sumbawa Barat itu mengaku dia dan beberapa aktivis di KSB sengaja direkrut oleh eks petinggi AMMAN dan digaji Rp5 juta per bulan untuk menggelar aksi-aksi menyerang perusahaan.
“kita digaji 5 juta waktu itu per satu bulan,” kata Boy.
Ia mengaku sudah sering bertemu eks petinggi perusahaan tersebut. Mereka kemudian merancang aksi bagaimana menyerang perusahaan dengan isu-isu strategis di sana, berbekal informasi dari eks petinggi yang pernah menjadi orang paling berperan strategis di PT AMNT.
“saya ke rumahnya waktu itu. Ini benar, saya tidak gentar berbicara benar. Saya berani mempertanggungjawabkan yang membiayai a, b, c itu dia. Kita digaji 5 juta waktu itu. Sekarang (gajinya) enggak tahu,” katanya.
Ia saat itu berpikir dengan risiko melawan perusahaan yang bertolak belakang dengan keinginan masyarakat di lingkar tambang. Sehingga, dia memilih keluar dan kini mendukung keberadaan tambang.
“kita diperintah a,b,c yang kita lawan gajah besar. Berani enggak mereka bertanggungjawab ketika kita mati. Kita terbunuh siapa yang tanggung jawab untuk anak kita. Kecuali ketika Boy mati maka ada santunan, cacat tetap santunan,” katanya.
Dia yang juga menjadi Ketua Ormas Bengkas Maluk Nusantara (BMC) ini kemudian berusaha mencoba untuk mencegah terjadinya provokasi masyarakat di lingkar tambang. Dia bersama anggota Pemuda Pancasila menggelar konvoi di desa-desa lingkar tambang untuk mengimbau masyarakat berhati-hati terhadap provokasi pihak luar NTB yang mencoba menciptakan kegaduhan.
“kami Jumat kemarin melakukan konvoi di lima desa. Kita mengimbau masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan oknum mengatasnamakan masyarakat KSB,” ujar dia.
Ia juga tegas mengatakan jika oknum tersebut terus memprovokasi masyarakat, dengan tegas Pemuda Pancasila akan menolak kedatangan oknum eks PT. AMNT itu.
“Kalau oknum itu masih ada di belakang tidak menutup kemungkinan Pemuda Pancasila akan menolak dia datang ke KSB,” katanya.
*Awal Mula Konflik*
Sengkarut yang terjadi di lingkar tambang tidak terlepas dari mega proyek yang saat ini dibangun PT AMNT. Saat itu ada dua proyek utama oleh perusahaan, yaitu pembangunan smelter dan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG).
Wacana muncul saat PT AMNT akan membangun PLTG. Saat itu eks petinggi AMNT terlebih dahulu membeli lahan warga di Dusun Pola Mata, Desa Belo, Kecamatan Jereweh, KSB. Lahan seluas 200 hektare dibeli dengan nilai per are sekitar Rp5 juta hingga Rp8 juta. Diduga lahan tersebut akan dijual kembali ke PT. AMNT dengan harga lebih tinggi.
Namun ternyata proyek PLTG belum kunjung dikerjakan di lokasi tersebut karena perusahaan lebih konsen menyelesaikan proyek smelter. Alih-alih lahan itu dibeli perusahaan, justru PLTG rencana berubah dibangun di Benete, jauh dari lokasi yang sudah disiapkan eks petinggi AMNT.
Kini lahan 200 hektare yang sebelumnya dibeli menjadi lahan kosong yang hanya ditumbuhi pohon mahoni. Itu disinyalir menjadi awal mula konflik antara eks petinggi AMNT dengan PT. AMNT sendiri.
“Itu belum ada perintah membeli lahan, tapi sudah dibeli duluan. Pertengahan jalan direksi justru bangun di Benete, bukan di lokasi yang dibeli tadi,” ujar seorang sumber setempat yang ingin namanya disamarkan.
*Bantah Tuduhan*
Aliansi Masyarakat Anti Mafia Tambang (AMANAT) paling konsen dalam menggelar aksi menuntut PT. AMNT. Itu membuat LSM tersebut justru menjadi tuduhan digerakan eks petinggi AMNT.
Tuduhan tersebut tegas dibantah Anggota AMANAT, Yudi Prayudi. Dia menegaskan jauh sebelum konflik eks petinggi AMNT dengan perusahaan, dia sudah sering bergerak berunjukrasa dengan aliansi saat itu bernama Geram.
Bagi Yudi, kedekatan organisasi dengan eks petinggi AMNT hanya sebatas menyuplai informasi kepada teman-teman pergerakan.
“Kami selalu terbuka kepada siapapun yang mau mendukung kami selama tidak melanggar aturan. Salah enggak sekarang kalau orang secara nurani membantu pergerakan kami dengan menyuplai informasi kepada kami,” katanya.
“Kalaupun ada memberikan suplai informasi karena beliau (eks petinggi) seorang yang berada di tambang, itu salahnya di mana coba,” ujarnya.
Dia juga menyoroti soal tuduhan eks petinggi AMNT memberi modal mereka untuk turun menggelar aksi.
“Kalau pun ada (sumber dana) salahnya di mana. Saat ini dengan adanya arus advokasi tentu kami membutuhkan duit. Kami waktu di Geram kita ngamen. Kalaupun ada nyumbang untuk suplai pergerakan kita salahnya di mana,” tegasnya.