Mataram – Statemen Ketua DPRD NTB Hj Isvie Rupaedah terkait joki cilik, mendapat kritikan pedas.
Direktur Lombok Global Institute (Logis) M Fihiruddin mengatakan, seharusnya sebagai pejabat publik Ketua DPRD NTB memahami hal yang dikomentari secara substansial. Apalagi hal sensitif terkait tradisi budaya masyarakat, seperti pacuan kuda Sumbawa.
“Kita sayangkan Ketua DPRD NTB berstatemen di media massa terkait pacuan kuda dan joki cilik. Apalagi dia belum pernah turun langsung ke lapangan,” tegas Fihir, Selasa 12 Juli 2022 di Mataram.
Fihir mengatakan, joki cilik dalam pacuan kuda Sumbawa merupakan tradisi budaya sejak dulu. Hal ini juga berkaitan dengan perputaran ekonomi masyarakat. Sebab, setiap kali ada event pacuan kuda maka ratusan bahkan ribuan pelaku UMKM bisa mendapatkan manfaat.
“Saya turun langsung waktu ada pacuan kuda di Sumbawa, joki cilik ini memang bagian tradisi, dan pendekatan safety mereka pun penuh kearifan lokal dengan figur yang disebut Sandro,” ujar pria tegas yang akrab disapa Bibit Unggul NTB ini.
Fihir menegaskan, anak anak yang menjadi joki pacuan kuda pun tak sembarangan. Mereka selalu saja memiliki garis keturunan.
“Jadi tidak semua anak bisa jadi joki,” ujarnya.
Ia menambahkan, dari aspek ekonomi rata rata keluarga joki cilik bergantung pada event pacuan kuda. Sehingga hal ini tak bisa dihilangkan begitu saja.
Fihir meminta Isvie Rupaedah untuk turun lapangan sebelum berstatemen di media massa.
“Jika tidak, maka statemennya ini terkesan tak menghargai tradisi budaya, padahal Sumbawa kan bagian dari NTB. Kecuali kalau dia Ketua DPRD Lombok saja,” katanya.
Terkait safety joki cilik, Fihir mengatakan, pihak Pemprov NTB dan Pemda Kabupaten/Kota di pulau Sumbawa sudah jauh lama memikirkannya. Hanya saja, untuk menerbitkan regulasi yang mengatur tradisi budaya tentu saja tak bisa serta merta.
Ia mengatakan, secara tradisi keberadaan Joki Anak tak bisa lepas dari lomba Pacuan Kuda, baik di Sumbawa, Dompu, dan Bima. Sejak dulu hal ini menjadi lumrah karena ukuran tubuh kuda pacu di pulau Sumbawa relatif kecil. Sehingga jika menggunakan Joki dewasa tentu akan lebih berat beban dalam balapan.
“Pak Gubernur juga pernah mengatakan bahwa secara pribadi tidak setuju dengan joki cilik. Tapi kan tidak bisa serta merya kita merubah tradisi. Karena itu, saat ini upaya yang dilakukan adalah bagaimana ukuran kuda pacu bisa lebih besar. Pacuan kuda ini kan ada kelas-kelasnya, misalnya untuk kelas F itu sudah bisa pakai Joki dewasa karena ukuran kudanya cukup besar,” katanya.
Fihir menambahkan tradisi pacuan kuda di pulau Sumbawa, tak hanya berkaitan dengan adat budaya dan kearifan lokal semata. Dari aspek sosial, tradisi ini menjadi wadah yang mempererat silaturahmi. Sementara dari aspek ekonomi, tradisi mampu menggerakan sektor UMKM dalam jumlah cukup banyak di saat musim perlombaan dihelat.
Fihir juga menkritisi laporan soal Joki Cilik yang diajukan Koalisi Anti Joki Cilik ke Polda NTB.
“Soal joki anak ini, ada yang lebih bahaya misalnya pembalap drag race anak anak. Inikan bukan tradisi dan risikonya lebih besar. Kenapa bukan itu yang dilaporkan,” tegas dia.
Ia berharap agar pihak kepolisian tidak menyeret tradisi budaya masyarakat ke ranah hukum.
“Yang kami khawatirkan, jangan sampai justru terjadi kriminalisasi tradisi dan budaya,” tegasnya. (*)