Reformasi birokrasi penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke luar negeri untuk sementara tertahan akibat pandemi covid 19 yang melanda dunia sejak tahun 2020 silam.
Beberapa negara penempatan seperti Taiwan, Hongkong, UEA, dan negara dikawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam sementara waktu belum bisa menerima masuknya tenaga kerja Indonesia.
Dapat dibayangkan, situasi ini akan berdampak langsung pada calon pekerja maupun perusahaan pengerah para pencari devisa, bahkan pemerintahpun berhadapan dengan jumlah pengangguran terbuka yang tercipta.
Pada bulan agustus 2020 saja Tingkat Pengangguran Terbuka di Nusa Tenggara Barat mencapai angka 4,22 persen, berada pada posisi dibawah TPT Nasional (7,07persen) BPS, Agustus 2020.
Walaupun berada dibawah angka nasional tetapi hal ini, harus mendapat perhatian yang cukup serius untuk meminimalisir dampak yang akan terjadi dan diperparah dengan situasi pandemi yang berkepanjangan.
Jumlah angkatan kerja yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun menjadi pekerjaan rutin yang harus diberikan solusi secara cepat, tepat dan akurat.
Selama ini “sebelum pandemi covid 19” jumlah angka pengangguran dapat tertolong adanya penempatan pekerja ke luar negeri. Namun dalam dua tahun terakhir sejak mewabahnya covid 19 pengiriman pekerja migran Indonesia ke luar negeri lumpuh total.
Tulisan ini sesungguhnya bukan mengupas tentang tingginya angka pengangguran dalam negeri, tetapi mencoba menyoroti kebijakan penempatan pekerja migran yang selama ini terkesan lambat, artinya dalam proses pengurusan dokumen hingga keberangkatan ke luar negeri butuh waktu berbulan-bulan.
Berdasarkan pengalaman lapangan seorang pekerja migran yang akan bekerja ke luar negeri butuh waktu dua sampai tiga bulan bahkan lebih baru berangkat.
Pengurusan persyaratan sepeti dokumen kependudukan dan proses di dinas tenaga kerja kabupaten – kota sebenarnya tidak lebih dari dua (2) minggu, termasuk kelengkapan seperti asuransi, kesehatan dan lainnya.
Sesungguhnya pemerintah telah menyiapkan layanan disetiap kabupaten-kota berupa Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA/LTSP) untuk mempermudah dan mempercepat layanan dalam penempatan pekerja migran, akan tetapi hingga saat ini kita masih menyaksikan bahwa proses penempatan PMI menghabiskan waktu berbulan-bulan.
Kebijakan penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri (didaerah asal) selama ini dapat digambarkan sebagai berikut : pengurusan dokumen kependudukan, ijin keluarga, kesehatan, proses di dinas tenaga kerja kabupaten – kota, pelatihan kerja, pengurusan paspor hingga Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP).
Keseluruhan proses tersebut menghabiskan waktu kurang lebih hingga 3 bulan. Mengapa proses tersebut terkesan lama? ternyata karena proses pelatihan yang diberikan dilakukan dibelakang, artinya setelah mereka menyelesaikan persyaratan dokumen pendukung .
Solusi cerdas yang harus dilakukan pemerintah sebenarnya dengan membuka dan memberikan pelatihan secara umum kepada setiap orang yang termasuk angkatan kerja baik yang ingin bekerja didalam maupun luar negeri secara terbuka.
Mereka-mereka yang sudah terlatih kemudian disertifikasi dan memiliki kompetensi ditempatkan untuk bekerja ke luar negeri sesuai job order masing.
Pola atau model seperti ini akan dapat mengurangi resiko percaloan dan memudahkan P3MI untuk mencari calon pekerja sesuai job order yang dibutuhkan pada lembaga lembaga pelatihan yang ada.
Untuk mendukung program seperti ini butuh sinergisitas antara pemerintah dan pihak swasta terutama Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) terkait kebutuhan biaya pelatihan yang cukup besar.
Oleh. Dr. Lalu Tajuddin, M.Si.
Pemerhati Pekerja Migran Indonesia