Mataram – Lembaga kajian sosial, ekonomi dan politik di Nusa Tenggara Barat, Lombok Global Institut (Logis) mempertanyakan keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mengeluarkan surat persetujuan pembudidayaan lobster di luar wilayah sumber benih.
Direktur Lombok Global Institut, M Fihiruddin mengatakan keputusan KKP yang memberikan izin pembudidayaan lobster di luar wilayah sumber benih merupakan sebuah langkah yang sangat keliru dan kehabisan ide. Sebab, ia menilai keputusan tersebut sarat dengan beragam masalah. Mulai pemilihan perusahaan, izin yang diduga tidak transparan dan penyalahgunaan izin demi kepentingan ekspor daripada budidaya.
“Makanya kami mempertanyakan keputusan KKP yang memberikan izin pembudidayaan lobster di luar wilayah sumber benih, karena bisa jadi budidaya di luar wilayah ini hanyalah kamuflase untuk mengambil bibit dari alam, terus diselundupkan,” ujarnya di Mataram, Sabtu (17/4).
Ia mencontohkan, terbitnya keputusan KKP terhadap pemberian izin budidaya benih lobster yang diberikan kepada salah satu perusahaan di Batam, Kepulauan Riau. Padahal, Batam bukan daerah asal maupun penghasil benih lobster di Indonesia. Belum lagi merujuk pada terungkapnya kasus-kasus penyelundupan benih lobster melalui Batam yang digagalkan petugas Bea dan Cukai Batam pada 2020 silam. Di mana benih-benih lobster tersebut akan dikirim ke Vietnam melalui Singapura menggunakan jalur laut.
“Kami menduga ini sebagai salah satu upaya penyelundupan benur (benih, red) lobster berkedok budidaya. Apalagi yang dikasih ini perusahaan yang beralamat di Batam yang notabenenya wilayah perbatasan. Tinggal geser sedikit keluar lah barang ini ke Singapura maupun Vietnam,” ujarnya.
Berkaca dari kasus tersebut, Fihiruddin mengaku bila kebijakan pemberian izin pembudidayaan lobster di luar wilayah sumber benih tersebut tetap diberikan ataupun dipertahankan, dikhawatirkan kedepannya bisa disalahgunakan untuk kepentingan lain yakni ekspor benur daripada melakukan budidaya seperti yang diharapkan KKP.
“Kalau seperti ini yang terjadi, kami meminta agar Presiden Jokowi mencopot
Sakti Wahyu Trenggono dari posisinya sebagai Menteri KKP,” tegas Fihiruddin.
Menurut Fihiruddin, semestinya KKP mengkaji kembali pemberian surat persetujuan pembudidayaan lobster di luar wilayah sumber benih. Pasalnya, KKP sendiri sudah menetapkan NTB khususnya Lombok sebagai sentra budidaya benih lobster nasional. Bahkan, pusat budidaya ini memiliki kualitas kelas dunia dan jadi rujukan negara lain.
“Kami berbicara seperti ini bukan berarti sentimen terhadap satu daerah, melainkan semata-mata kami ingin menyelamatkan benih lobster agar tidak punah dari Indonesia,” ketus Fihiruddin.
Oleh karena itu, dirinya berharap KKP untuk mengkaji keputusannya tersebut sebab budidaya lobster bakal menghabiskan plasma nutfah di alam. Budidaya nantinya akan berhenti jika bibit lobster itu telah habis di alam.
Apalagi ungkap Fihiruddin, lobster belum bisa berkawin dan memijah di tempat budidaya maupun penangkaran. Lobster bertelur, melahirkan, hingga beranjak dewasa merupakan peran alam.
Belum lagi, Indonesia memang belum memiliki budidaya lobster yang matang dan masih kalah dengan negara tetangga. Alhasil, baik budidaya maupun ekspor dinilai bisa memicu pengambilan bibit secara massal dan mengganggu ekosistem.
“Lobster ini dalam ancaman kepunahan. Apalagi lobster itu species yang belum bisa kita kawinkan dan dikembangbiakkan di penangkaran. Bibit untuk budidaya pembesaran semua diambil dari alam. Kalau ini diambil dipindahkan ke wilayah lain maka akan diambil massal sehingga menghabiskan stok, lalu kita akan kehilangan semua,” katanya.