Semenjak pandemi covid-19 melanda, kita dituntut untuk menghadapi berbagai tantangan-tantangan perubahan sosial yang harus kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya, kita dituntut untuk menerapkan physycal distancing yakni jaga jarak fisik antar manusia dan menghindari kerumunan.Selain itu, kita dituntut untuk selalu menerapkan protokol kesehatan ketika harus bepergian keluar seperti menggunakan masker, membawa hand sanitizer, rajin mencuci tangan, dan lain sebagainya guna meminimalisir penyebaran covid-19. Alhasil, hampir seluruh kegiatan sehari-hari kita lakukan di rumah. Mulai dari bekerja di rumah, olahraga di rumah, hingga belajar di rumah melalui media online bagi para pelajar dan mahasiswa.
Pandemi corona yang tak kunjung henti hingga memasuki bulan Desember ini memang membuat orang-orang merasa bosan dan jenuh untuk diam di rumah saja. Pasalnya, banyak orang yang bingung untuk memanfaatkan waktu mereka ketika harus diam di rumah saja.
Namun, tidak sedikit pula orang-orang yang tahu bagaimana untuk tetap produktif meski mereka harus diam di rumah saja. Misalnya, ada orang yang menjadi lebih kreatif, mereka membuat konten-konten yang bermanfaat bagi banyak orang melalui media sosial mereka, ada yang menghabiskan waktu mereka untuk berkebun, belajar memasak dan mencoba resep-resep baru, bahkan bermain game online suatu waktu untuk mengatasi kejenuhan mereka.
Tentu tidak sulit bagi mereka yang pandai mengatasi rasa jenuhnya dengan bijak karena, mereka punya kegiatan yang tidak kalah menarik yang bisa mereka lakukan hanya di rumah saja. Namun, bagaimana dengan sebagian orang yang tidak bisa mengatasi rasa jenuh mereka terutama bagi para pelajar yang cenderung labil dan mudah stress?
Beberapa bulan yang lalu sempat viral di media berita tentang pelajar SMP dari Desa Aiq Berik, Kecamatan Batu Kliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah yang memutuskan untuk menikah karena ia merasa bosan belajar online. “Saya bosan belajar online. Makanya, putuskan menikah,” Begitu pengakuan EB gadis berusia lima belas tahun yang duduk di kelas tiga SMP itu, seperti dikutip dari laman iNewsid.
Selain karena bosan, ia juga mengaku tidak punya pilihan lain dan tidak tahu harus berbuat apa lagi selain memutuskan untuk menikah karena di sisi lain, EB sendiri tidak memiliki smartphone untuk belajar daring di rumah hal ini disebabkan karena keterbatasan ekonomi.
Kasus pernikahan dini tersebut tentu saja menambah angka kasus pernikahan dini di Lombok Tengah. Kasus tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kasus pernikahan dini yang terjadi di Lombok selama pandemi corona. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa, pernikahan dini merupakan salah satu permasalahan penduduk yang dimana perlu adanya kerja sama yang solid antar setiap pihak, mulai dari pihak keluarga yakni peran orang tua yang begitu penting dalam menanamkan nilai-nilai pada anak, kemudian pihak sekolah yang dapat mengedukasikan tentang berbagai dampak pernikahan dini kepada siswa-siswanya, selain itu, peran pemerintah daerah untuk menekan angka pernikahan dini yang terjadi.
Umumnya, pernikahan dini yang terjadi di masa pandemi disebabkan oleh dua faktor yakni faktor ekonomi dan pola pikir masyarakat. Mulai dari faktor ekonomi, kebanyakan orang tua yang tidak mampu membiayai hidup anaknya, mengizinkan dengan mudah kepada anak-anaknya untuk segera menikah karena, apabila seorang anak telah menikah, maka beban ekonomi keluarga akan berkurang. Hal ini disebabkan karena, anak perempuan yang sudah menikah biaya hidupnya tidak lagi ditanggung oleh pihak keluarga melainkan sudah menjadi tanggung jawab suaminya.
Terlebih lagi di masa pandemi ini dimana perekonomian masyarakat semakin lumpuh hingga membuat pernikahan dini dikarenakan faktor ekonomi semakin merajalela.
Padahal, pernikahan bukanlah sebuah solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi beban ekonomi. Justru hal ini bisa saja menambah beban keluarga sebab, seperti yang kita ketahui bahwa pernikahan dini rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga hingga dapat memicu terjadinya kasus perceraian, yang menyebabkan seorang anak kembali dipulangkan ke rumah orang tuanya dengan membawa anak hasil pernikahan mereka. Kemudian, faktor pola pikir yang berkembang di masyarakat dapat dikatakan masih kolot terutama masyarakat pedesaan, dimana mereka menganggap pendidikan itu tidak penting sehingga, mereka rela mengorbankan masa sekolah mereka untuk segera menikah karena dirasa tidak ada hal yang dapat dilakukan jika kita tidak sekolah atau bekerja selain melaksanakan pernikahan.
Mereka berfikir lebih baik menikah daripada menjadi buah bibir tetangga dan dapat menimbulkan fitnah bahkan takut dicap sebagai perawan tua jika tak kunjung menikah.
Tidak hanya itu, menurut Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, dari bagian Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi yakni Joko Jumadi mengatakan bahwa, maraknya pernikahan dini di masa pandemi disebabkan oleh interaksi antara anak dengan gadget yang terlalu lama sehingga mempengaruhi psikologi anak. Anak dapat dengan mudah terpapar oleh adanya konten-konten yang berbau pornografi bahkan pornoaksi. (Radar Lombok 3/9).
Memang selama pandemi ini hampir semua kegiatan dilakukan secara online melalui smartphone kita. Seperti bekerja, rapat, berbelanja, hingga belajar di kelas pun melalui media online begitu juga dengan anak-anak yang kemudian hal ini membuat mereka hampir seharian tak pernah lepas dari smartphone mereka. Tentu saja hal ini bisa memicu anak terpapar konten-konten yang berbau negatif seperti pornografi yang dapat mendorong anak untuk melakukan pergaulan bebas sehingga hal ini seringkali menyebabkan timbulnya kasus hamil di luar nikah. Belum lagi mereka menonton konten “keuwuan” yang bertemakan nikmatnya menikah muda yang sekarang sedang nge-trend di media sosial juga menyebabkan anak-anak mudah terpengaruh dan termotivasi untuk melaksanakan pernikahan. Padahal, sebuah pernikahan lebih dari sekedar membuat konten “uwu” bermesraan dengan pasangan di media sosial semata. Ada banyak konsekuensi yang harus dijalani ketika seseorang memutuskan untuk menikah dini. Misalnya, permasalahan finansial, bagaimana cara mendapatkan pendapatan dan mengelolanya untuk kebutuhan dalam rumah tangga. Konsekuensi dalam menerima sikap dan kepribadian yang berbeda dengan pasangan, kemudian belajar bagaimana mengatasi kejenuhan dan kebosanan dimana rasa jenuh memang hal yang wajar dalam rumah tangga karena kita akan selalu bertemu dengan orang yang sama setiap harinya. Tidak hanya itu, kesiapan mental dalam menghadapi setiap permasalahan yang jangan sampai salah satu dari pasangan mengambil keputusan yang tidak tepat hanya karena tidak bisa menyelesaikan masalah dengan komunikasi dan diskusi bersama pasangan. Dan masih banyak lagi konsekuesi yang harus dijalani untuk membangun sebuah rumah tangga yang utuh dan hal ini yang sering kali tidak disadari oleh para pelaku nikah dini bahwa, urusan rumah tangga sebenarnya lebih rumit dibandingkan untuk tetap melanjutkan sekolah.
Selain itu, Joko Jumadi juga mengatakan tingkat kebosanan anak selama di rumah saja juga dapat memicu timbulnya konflik antara anak dengan orang tua sehingga, anak menjadikan pernikahan sebagai solusi atau jalan keluar untuk terhindar dari rasa kebosanan dan menghindari konflik di rumah. (Radar Lombok 3/9)
Jika rasa bosan di rumah saja tidak bisa diatasi sendiri, bagaimana bisa seseorang dapat mengatasi permasalahan rumah tangga yang lebih rumit dan kompleks? Jangan jadikan pernikahan sebagai pelarian semata. Sebab, memutuskan untuk menjalin hidup bersama orang lain itu tidak mudah. Kita harus sudah beres dengan diri sendiri baru kita bisa mengajak orang lain untuk hidup bersama kita dan menjalin hubungan yang serius. Jika memang sedang bosan, ada banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan seperti melakukan hobby kita di rumah atau melakukan hal-hal positif lainnya seperti berolahraga misalnya, atau membaca novel, bermain musik, bahkan mungkin mendekor ulang kamar agar suasana kamar jadi baru dan menyenangkan. Kemudian, kurangi bermain media sosial karena, tidak baik bagi psikologis jika terlalu lama bersosmed ria.
Perlu adanya upaya dari berbagai pihak guna meminimalisir terjadinya pernikahan dini. Baik itu dari pihak keluarga yakni orang tua yang mendampingi anak selama di rumah, kemudian guru selaku tenaga pendidik, hingga pemerintah yang mampu membuat kebijakan untuk diterapkan demi menghalau terjadinya praktik pernikahan dini.
Mulai dari pihak orang tua sendiri, dapat dilakukan dengan cara mengontrol dan membatasi anak dalam penggunaan smartphone. Seperti, memberikan batasan waktu seberapa lama dalam sehari menggunakan smartphone dan kapan harus berhenti menggunakannya. Selain itu, orang tua dapat mengajak anak mereka untuk melakukan kegiatan positif yang bisa dilakukan di rumah bersama sehingga kedekatan antara anak dan orang tua menjadi terbangun. Kemudian, dari pihak guru, dapat dilakukan dengan cara mengedukasikan kepada siswa-siswanya tentang bahaya pergaulan bebas dan dampak dari pernikahan dini yang bisa disampaikan beberapa menit menjelang pelajaran di kelas online berakhir. Selain itu, penting juga seorang guru untuk memberitahukan kepada siswa-siswanya tentang pentingnya memiliki cita-cita yang tinggi untuk diraih di masa depan. Oleh karena itu, dengan diberlakukannnya kerja sama yang solid antar pihak diharapkan mampu untuk meminimalisir terjadinya pernikahan di masa pandemi. Semoga pandemi yang tak kunjung henti ini dapat segera berlalu dan fenomena-fenomena pernikahan dini yang terjadi di masa pandemi ini dapat kita ambil hikmahnya bersama.
Oleh: Rahni Nevada
Mahasiswi Program Studi Sosiologi Universitas Mataram
Bisa jadii jugaa karena ketidakpastian kapan Covid-19 berakhir melanda dan penanganan yang dia anggap masih kurang sehingga untuk memutuskan Untuk Menikah dinii…akan ttpi ttp apapun masalahnya nikah dini bukan dijadikan solusi seperti yang dikatakan tadi jangan jadikan pernikahan hanya sebagai pelarian semataa
Btw buat yang Nuliss kerenn n semangats teruss dalam berproses..good luck