AmpenanNews. Pengamat hukum dan Advokat NTB, Muhanan, SH., menilai, protes surat Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang dilayangkan kepada Gubernur, Zulkieflimansyah menjadi ranah adminitrasi Tata Usaha Negara (TUN).
Gubernur Rakor Bersama Menkopulhukam Terkait Penanganan Covid-19
“Saya melihat, ini soal kewenangan saja. Dimana aturan memperbolehkan, bahwa pengangkatan dan pemberhentian ketua dan pengurus Baznas Provinsi menjadi kewenangan Gubernur. Peraturan Baznas (Perbaznas) juga bilang begitu,” kata, Muhanan, menyikapi surat protes Baznas pusat, baru baru ini.
Ia menegaskan, jika yang dituntut mengenai pelanggaran aturan dalam penerbitan SK Gubernur, maka rananya menjadi administrasi tata usaha. Kalau salah, SK Gubernur bisa ditinjau ulang. Itupun jika melalui putusan TUN tadi.
Muhanan juga melihat tidak ada unsur pidana dalam kasus SK BAZNAS ini. Berbeda jika ada rekayasa, pemalsuan, pemberian keterangan bohong dan lain lain. Apalagi, rekomendasi nama serta calon ketua BAZNAS di seleksi melalui Panitia Seleksi (Pansel) tersendiri.
“Pasal 3 ayat 1 Perbaznas Nomor 1 tahun 2019 menerangkan bahwa Gubernur bisa mengangkat dan memberhentikan ketua dan pengurus BAZNAS setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan BAZNAS pusat. Pertimbangan beda dengan rekomendasi. Boleh diikuti boleh tidak,”ujarnya.
Ia menilai masalah hukum sebaiknya tidak salah disampaikan keruang publik. Apalagi memfonis. Pemberitaan juga harus berimbang. Melihat dasar serta aspek legal klarikasi pemerintah, agar kepentingan tidak terkesan dicampur adukkan.
” Wajar saja BAZNAS pusat merasa perlu mengajukan klarifikasi kepada Gubernur. Hanya saja, jika berkenaan masalah hukum sebaiknya diungkap berdasarkan fakta hukum. Misalnya jika dituduh cacat hukum, maka lampirkan hukum apa yang dilanggar serta pasal berapa, agar lebih jelas,”terangnya.
Menurutnya, Gubernur NTB menerbitkan SK serta kebijakan mesti bersandarkan aturan. Dasar hukumnya jelas. Jika ada surat protes maka perlu ada klarifikasi. Jadi, kata dia, sebaiknya semua pihak menahan diri dan melihat masalah ini dari dua sisi. Tidak parsial.
Muhanan menegaskan bahwa pertimbangan BAZNAS haruslah dimaknai sebagai bahan masukan bagi Gubernur untuk menentukan layak atau tidaknya seseorang diangkat sebagai pimpinan.
Selanjutnya, selain itu, pertimbangan BAZNAS pusat tidak dapat diartikan sebagai persetujuan BAZNAS terhadap beberapa calon pimpinan BAZNAS NTB.
Menurut Muhanan, pengangkatan dua pimpinan BAZNAS masa Bhakti 2020-2025 tidak cacat hukum karena telah melalui prosedur yang diatur dalam peraturan perundang undangan.
“Pertimbangan BAZNAS tidak wajib diikuti kepala daerah. Sebab tidak ada satupun klousul dalam peraturan tentang pengelolaan zakat yang terang benderang dan tegas menyebutkan, bahwa syarat pengangkatan BAZNAS provinsi atau kabupaten kota mengikuti pertimbangan BAZNAS,” kata, Muhanan lagi.
Jadi, dalam pasal lima Perbaznas tadi menyebut frase kata setelah, bukan harus. Ini harus diartikan bahwa pertimbangan tersebut hanya sebagai bahan masukan saja bagi kepala daerah bukan rujukan putusan yang sifatnya mengikat.
Jadi berdasarkan analisa dan pengamatan sementara, kata Muhanan, pengangkatan dua pimpimpinan BAZNAS terpilih yakni, Dr
Muhammad Said, LC.MA dan Drs. Maad Umar, M.Pd tidak cacat hukum sebagaimana tercantum dalam surat BAZNAS, nomor 365/ANG/BAZNAS/IV/2020 tertanggal 1 April 2020.
Analisanya, Undang Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, pasal 88 ayat 1 menyebutkan, ASN di berhentikan sementara apabila, diangkat menjadi pejabat Negara, diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural atau ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.
Sementara di pasal 278 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2017 tentang kepegawaian menyebutkan bahwa pemberhentian sementara sebagaiman dimaksud dalam pasal 276 huruf a dan huruf b berlaku sejak yang berangkutan dilantik dan berkahir pada saat selesainya masa tugas sebagai pejabat negara, komisioner, atau anggota lembaga nonstruktural.
“Frase kata ‘Berlaku sejak yang bersangkutan dilantik’ harus dimaknai sebagai pemberlakuan keputusan pejabat berwenang sejak PNS bersangkutan dilantik’ sebagai anggota lembaga nonstruktural yang statusnya menunggu keputusan pejabat kepegawaian, berbeda ketika PNS ikut Pilkada jadi harus megundurkan diri,” demikian, Muhanan.