Ampenan News. Bapak Haji Muhammad Azhar namanya. Dikenal sebagai Guru Sahar yang hampir sebagian besar hidupnya dipersembahkannya untuk pendidikan. Desa Batu Putih di Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat, paling ujung barat Pulau Lombok menjadi rumah tempat tinggal dan lahan pengabdiannya sejak pertama kalinya mengambil profesi sebagai guru sampai ia pensiun 7 tahun lalu. Kini di usia 67 tahun, Batu Putih yg indah dengan garis panjang pantainya, tetap ia pilih sebagai kampung halamannya.
Di saat mendapat kesempatan bersilaturrahmi di kediaman beliau, nuansa religious dan sederhana begitu terasa ketika berhadapan dengan kakek yang lahir dan berasal dari Kampung Karang Puntik Desa Penujak, Kecamatan Praya Baray Lombok Tengah.
Bapak Guru Sahar adalah sosok yang berjasa besar dalam dunia pendidikan di wilayah paling terpencil di Kabupaten Lombok Barat. Beliau termasuk guru yang pertama ditugaskan di Kecamatan Sekotong Barat lebih dari 40an tahun silam.
Saat usianya yang menapak senja, dan kondisi kesehatan yang kurang baik, beliau masih antusias membagi kisah romantis penuh nostalgia di masa masa awal beliau menjadi seorang guru.
Sekotong saat itu adalah tanah nyaris tak terjamah. Hutan lebat dan dengan infrastruktur jalan yang sangat sulit.
Inilah daerah paling terpencil di Kabupaten Lombok Barat di mana perlu perjuangan yang kuat untuk mampu bertahan di saat penduduknya masih sangat sepi, minim sarana transportasi, dan bahkan tanpa listrik dan minim air bersih.
Berbekal ilmu dan pangilan jiwa sebagai seorang guru, pak guru Sahar memulai tugasnya sebagai pendidik.
Perjalanan dari rumahnya di Kampung Karang Puntik Desa Penujak menuju lokasi pengabdiannya bukanlah perjalanan yang menyenangkan, bahkan di masa masa itu, di Dusun Ketapang pak Sahar harus membangun sendiri sekolahnya dan mencari murid dari anak anak warga sekitar yang rumahnya saling berjauhan. Keadaan yang serba terbatas tidak membuatnya patah arang.
Meskipun hanya beberapa saja, karena kegigihan beliau ditambah pendekatan yang baik kepada anak-anak, mampu menyentuh rasa kagum masyarakat setempat untuk ikut menggerakkan anak anak Batu Putih untuk mau bersekolah.
Hingga akhirnya beliau mengajak seluruh masyarakat untuk berembuk guna membangun tempat bagi para murid belajar.
Persoalannya tidak hanya berhenti disitu saja. Kerap kali beliau mendapati anak didiknya berhenti sekolah di tengah jalan, atau yang tidak masuk berhari-hari karena harus membantu orang tuanya bertani atau berkebun.
Desa paling ujung barat itu dahulu bagian dari Desa Sekotong Barat adalah daerah tadah hujan. Musim tanam padi adalah seiring dengan musim hujan. Selebihnya adalah laut yang menjadikan warga sebagai nelayan. Banyak anak anak tdk lagi bersekolah karena musim hujan atau musim surut yg membuat orang tua lbh membutuhkan bantuan anak anaknya di sawah atau di laut.
Menghadapi masalah itu, Sang guru tidak ragu untuk berkeliling mencari anak-anak muridya, membujuk mereka agar kembali ke sekolah, dan meyakinkan para orang tua.
Semenjak merintis sekolah hingga saat ini, tentu meninggalkan banyak kenangan-kenagan yang tak terlupakan. Bagi beliau maupun orang-orang yang pernah merasakan tangan dingin pak guru yang bersahaja ini. Semua dilakukan semata-mata ihklas mengamalkan ilmu yang beliau miliki. Hijrah meninggalkan kampung halamannya berpuluh-puluh tahun menjadikan pak guru sahar sebagai sosok panutan. Tidak hanya sebagai seorang guru, tetapi sebagai tokoh masyarakat yang didengarkan.
Beliau sering dimintai pendapat tentang kemasyarakatan, kesehatan dan masalah agama. Keteladanan yang dicontohkannya menjadikan beliau sebagai sandaran warga setempat. H. Muhammad Azhar adalah gambaran seorang guru sejati. Contohnya nyata dari yang disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Sulit untuk mencari sosok seperti ini di zaman sekarang. Nasehat beliau yang penuh hikmah, adalah wujud ketulusan hati, dan bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mempunyai hati. Yang hatinya tidak mati.
Sumber : Humas Lobar/emi